Karya: Aida Fitriawanti
Saat ini kita diuji dengan adanya wabah yang menyerang hampir seluruh dunia, tanpa memandang suku, ras, dan agama. Sebuah ujian yang akan memperlihatkan kejernihan sikap dan posisi sebenarnya, baik dari pemerintah ataupun masyarakatnya, yang bisa ditinjau dari sisi ekonomi, politik, kesehatan dan sosial.
Jika kita telisik kembali sejarah bangsa, kita akan menemukan bahwa para pendahulu sudah pernah melakukan perjuangan melawan penjajah, baik saat melawan Belanda ataupun Jepang. Perjuangan fisik dan intelektual hingga pada akhirnya bangsa kita mampu untuk meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 silam.
Tentu menarik membicarakan tentang euphoria dalam merayakan dirgahayu negara kita tercinta di era yang serba terbatas ini. Terbatas dalam akses, terbatas dalam usaha dan kerja dikarenakan krisis ekonomi atau resesi yang sebenarnya sudah menjamah sekat-sekat ekonomi negara kita sebelum pandemi.
Penulis ingin memperlihatkan bahwa ada esensi fundamental yang harus kita pastikan kemerdekaannya di era covid ini khususnya dari kaca mata mahasiswa sebelum kita berpesta ria merayakan gegap-gempita hari jadi tanah kelahiran kita, Indonesia.
Merdeka, sebuah kata yang tak asing dari perjalanan sebuah bangsa. Makna dari kemerdekaan ini pun beragam bergantung pada perspektif yang diambil. Para pendahulu kita seperti Bung Hatta mengilhami kemerdekaan tak bersandar pada materi semata, namun juga pada kemerdekaan intelektualitas setiap individu yang tertuangkan dalam kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk belajar.
Perspektif ini yang menjadi ruh penulis dalam mengutarakan makna merdeka hingga nantinya dapat membentuk sebuah pola dengan rasa Kekitaan (gemeinschaft) guna merayakan esensi dirgahayu negara tercinta.
Sebagai mahasiswa, kita memiliki spirit perubahan dan kekuatan yang sudah tercatat dalam tinta sejarah, yaitu Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Barisan mahasiswa adalah sebuah gerakan perubahan yang sensitif dengan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi disekitarnya. Hal tersebut merupakan sebuah kewajaran, mengingat mahasiswa adalah seorang agen perubahan dan motor penggerak bangsa agar lebih hidup dan manusiawi.
Di era pendemi ini, ujian yang menjajah kita bukan lagi bedil peluru dan senapan, tetapi arus teknologi yang mendegradasi serta mendistraksi sisi intelektualitas individu. Kita sehat secara fisik, aman secara finansial, namun kita lupa kita tak menyadari arus disrupsi yang menyeret kita perlahan.
Banyak dari kita tentu kehilangan hampir aktivitas rutin yang biasanya dikerjakan diluar rumah sebagai bentuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang berlaku. Imbasnya setiap individu ini harus mereset ulang tatanan hidup sehari-harinya. Menggunakan kemampuan adaptif yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta. Kita ingat bahwa untuk membentuk sebuah habit dibutuhkan pengulangan dan menurut sebuah penelitian pengulangan dalam waktu 20 hari yang kita miliki itulah yang akan membentuk kebiasaan dan karakter kita yang akan melekat kemudian.
Tapi, sisi hitamnya adalah jika kita sudah terlanjur salah dalam membentuk pola dan kecanduan hal negatif yang mengurangi esensi kita sebagai mahasiswa atau bahkan me-nonmanusiawikan . Seperti kecanduan mobil legend, tausil ke math’am setiap hari, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, atau nonton bareng sembari mengkhatamkan berbagai film dari negeri Ginseng yang sudah tak aneh lagi untuk didengar.
Contoh-contoh diatas memang sebuah pilihan hidup masing-masing, namun jika kita lebih merenungi dan menghayati makna rasa kekitaan (gemeinschaft) sebagai seorang mahasiswa di era pandemi ini, tentu kita akan lebih menyadari tugas-tugas kita sebagai pelajar yang harusnya mempu memaksimalkan peran dan fungsi. Karena kita faham, bahwa generasi kita saat ini merupakan harapan penerus untuk Indonesia 20-30 tahun mendatang. Di era pendemi ini, ujian yang menjajah kita bukan lagi bedil peluru dan senapan, tetapi arus teknologi yang mendegradasi serta mendistraksi sisi intelektualitas individu. Kita sehat secara fisik, aman secara finansial, namun kita lupa kita tak menyadari arus disrupsi yang menyeret kita perlahan.
Banyak dari kita tentu kehilangan hampir aktivitas rutin yang biasanya dikerjakan diluar rumah sebagai bentuk kepatuhan terhadap protokol kesehatan yang berlaku. Imbasnya setiap individu ini harus mereset ulang tatanan hidup sehari-harinya. Menggunakan kemampuan adaptif yang dianugerahkan oleh Sang Pencipta. Kita ingat bahwa untuk membentuk sebuah habit dibutuhkan pengulangan dan menurut sebuah penelitian pengulangan dalam waktu 20 hari yang kita miliki itulah yang akan membentuk kebiasaan dan karakter kita yang akan melekat kemudian.
Tapi, sisi hitamnya adalah jika kita sudah terlanjur salah dalam membentuk pola dan kecanduan hal negatif yang mengurangi esensi kita sebagai mahasiswa atau bahkan me-nonmanusiawikan . Seperti kecanduan mobil legend, tausil ke math’am setiap hari, jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, atau nonton bareng sembari mengkhatamkan berbagai film dari negeri Ginseng yang sudah tak aneh lagi untuk didengar.
Contoh-contoh diatas memang sebuah pilihan hidup masing-masing, namun jika kita lebih merenungi dan menghayati makna rasa kekitaan (gemeinschaft) sebagai seorang mahasiswa di era pandemi ini, tentu kita akan lebih menyadari tugas-tugas kita sebagai pelajar yang harusnya mempu memaksimalkan peran dan fungsi. Karena kita faham, bahwa generasi kita saat ini merupakan harapan penerus untuk Indonesia 20-30 tahun mendatang.
Membangun rasa kekitaan ( gemeinschaft ) memang tak mudah, seperti membangun rasa empati, tentang bagaimana lakukan kita menaruh rasa seolah-olah kita satu badan, tanpa sekat dan penghalang. Jika kita mencoba menanamkan rasa tersebut, kita akan lebih memaknai aktivitas sehari-hari. Kita akan mereflekasi dari kesalahan masa lampau, agar tak terulang di masa kini, jua menyerap kegemilangan pendahulu masa lalu agar bisa tercipta untuk sekarang dan yang akan datang. Cukup ingat bahwa sejarah itu terulang!!
Tetapi, coba bayangkan betapa hebatnya generasi intelektual pemuda-pemudi Indonesia, Ketika sudah mampu menyadari tugas dan fungsi. Memerdekakan akal dan hati dari virus-virus distraksi yang membelenggu semangat untuk belajar. Serta berkeinginan untuk memahami keadaan bangsa yang sedang tidak stabil, sedang membutuhkan suntikan peran dari para penerusnya mendatang.
Tentu masing-masing diri kita adalah representasi dari negeri kita tercinta. Baik – buruk wajah negeri kita bertumpu pada pola pikir dan hidup yang kita ambil dan kita praktekan seharisehari.
Keadaan dunia yang hampir setiap negara sedang mengalami de-globalisasi karena pandemi bukan alasan untuk melenggangkan kaki bahwa kita sedang diberhentikan untuk berkreasi. Ini adalah defining moment bagi kita. Jangan pernah mengecilkan diri bahwa peran kita sempit diantara banyak manusia. Coba kita balik pernyataan tersebut dengan menjadi besar dan membesarkan orang lain di situasi menekan ini.
Ambil contoh kecil dalam memaknai rasa kekitaan (gemeinschaft) adalah dengan menjaga urat kepedulian kepada sesama. Semua pihak pasti merasakan ujian wabah ini, meski tak sama dan dengan bentuk cobaan yang berbeda. Namun, yang paling penting adalah merawat kesadaran bahwa saling bahu-membahu merupakan solusi sederhana untuk meminimalisir dampak covid dewasa ini. Mematuhi protokol kesehatan yang berlaku dan berbagi sebatas dari apa yang kita punya, pun hanya menanyakan kabar dari orang-orang di sekitar kita sudah merupakan manifestasi kecil yang bisa kita terapkan dari diri kita sendiri.
Jadi, merayakan sebuah moment tak melulu dengan berpesta-ria turun ke jalan, sudah mengetahui esensi diri, mau mengevaluasi dan mereflekasikan nila-nilai perjuangan para pendahulu juga merupakan bentuk tahni’ah kita kepada negeri secara lebih manusiawi.
Menurut Prof. Emil Salim, seorang pakar ekonomi, sosiologi dan politik yang sudah melewati rentetan tiga zaman, mengatakan bahwa akumulasi dari peristiwa penjajahan dan perjuangan bangsa adalah sebuah pesan bahwa belajar dan ilmu itu merupakan kunci dari kemerdekaan yang sesungguhnya. Dan untuk itu mari kita satukan rasa kekitaan (gemeinschaft), agar tak membelum di kata kami dan kalah oleh kata aku.
Selamat HUT NKRI, salam literasi!!