 |
Dr. Mukhtar Muhsin Azhary saat menyampaikan materi pengantar fatwa di auditorium Fakultas Dakwah Universitas Al-Azhar Kairo (22/09). [Foto: Lukman Hakim] |
Oleh: Albi Tisnadi Ramadhan*
“Mufti bagaikan seorang dokter, dia harus memahami kondisi pasien, penyakit, sekaligus obat yang tepat,” Syekh Dr. Mukhtar Muhsin Azhary, Mufti Darul Ifta.
Seketika imajinasi saya liar menerawang membayangkan saya yang seorang Mahasiswa Al Azhar berprofesi sebagai seorang dokter. Berjalan di antara pasien dengan jas putih dan stetoskop yang melilit menggantung di leher, lantas membawa serta bolpoin untuk memberikan resep yang berisikan daftar obat yang tepat bagi pasien. Ah, lantas saya berfikir tentunya untuk menjadi seorang dokter diperlukan usaha dan kecapkapan tersendiri. Pendidikan kedokteran sebagaimana jamak diketahui adalah salah satu jenis pendidikan elit yang bukan hanya memerlukan kesiapan finansial, namun juga kecakapan dan bahkan saya kira ada unsur bakat genetika di dalamnya, jenjang pendidikan yang normalnya saja sekitar enam tahun sudah menjadi ujian tersendiri bagi seorang dokter.
Lantas apa korelasi antara seorang dokter dan mufti? Apakah kiranya alat yang dipakai oleh seorang mufti dalam mengobati pasiennya (mustafti) layaknya seorang dokter yang menggunakan stetoskop untuk mendengar pernapasan dan arus darah vena pasiennya? Kemudian apa kiranya modul dan praktek yang perlu dikuasai oleh seorang mufti? Kemudian bagaimana cara seorang mufti untuk tepat mengetahui obat yang baik dan benar untuk pasiennya? Adakah penanganan khusus yang diberikan oleh seorang mufti terkait perbedaan keadaan pasiennya?, Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengalir di dimensi lain di luar tempat yang digunakan oleh Syeikh Mukhtar dalam menyampaikan materi seminar siang itu.
Ibnu Hamdan dalam Kitab Adabul Mufti Wal Mustafti berkata seorang mufti dapat didefinisikan sebagai seorang yang bertugas untuk mengabarkan perihal hukum Allah karena dianggap telah memiliki kapabilitas dalam menelaah dalil atau landasan hukumnya. Orang yang telah dianggap memiliki kapabilitas ini tentunya telah melewati berbagai hal sehingga dianggap mampu memberikan jalan bagi seorang yang buntu dalam menerapkan syariat Allah Swt. Syeikh Mukhtar menuturkan bahwa seseorang paling tidak akan melewati tiga tahapan sebelum didapuk menjadi seorang mufti; tahapan paling awal ia perlu menguasai beberapa modul fiqh, akidah dan akhlak yang terangkum dalam silsilah kitab-kitab mazhab fikih, akidah asy’ari dan maturidi serta tasawuf sebagai landasan akhlak. Tahapan ini kerap disebut sebagai pemahaman teks atau Idraakun Nash.
Setelah rampung melengkapi kecapakan memahami modul-modul tersebut barulah ia mengantarkan maklumat yang ada padanya pada realita kehidupan. Permasalahan-permasalahan baik syariat ataupun akidah kerap terus berkembang dan membaru. Tentunya tidak cukup modul-modul tersebut membendung banyaknya permasalahan manusia dari hari ke hari. Perangkat-perangkat yang digunakan pun terbilang sangat pesat perkembangannnya. Misal yang sudah umum adalah istilah “Bank”. Bank pada zaman para imam mujtahid belum pernah ada, begitupun di zaman para khadim al mazahib, kata ini sama sekali belum pernah dikenal. Terkait kegunaan, transaksi di dalamnya, para pengguna jasanya, dlsb. Sama sekali belum pernah dibahas dan diperdebatkan di meja hukum para mujtahid. Dikarenakan belum pernah dibicarakan pada masa lampau, apakah “Bank” serta merta tidak diterima eksistensinya di masa kini dari kacamata hukum Islam? Di titik inilah diperlukan ketajaman analisa dari seorang mufti dalam memberikan hukum Tuhan pada mustafti. Tahapan ini dikenal dengan sebutan Idraakul Waqi’ atau pemahaman realitas.
Tahapan terakhir adalah kecakapan untuk menempatkan hukum Tuhan pada realita atau Idraaku Kaifiyatu Tanzil Hukm ‘alal Waqi’. Setelah terpampang permasalahan-permasalahan kontemporer yang didasari ilmu yang difahami oleh seorang mufti, barulah ia menelisik keadaan dari pasien yang sedang mengidap suatu penyakit ini. Seorang dokter yang baik tentunya tidak akan menyamakan dosis obat yang diberikan pada balita dan dewasa. Bahkan terkadang bukan hanya dosis saja yang dibedakan, jenis obat dan terkadang pabrikan obat tertentu dibedakan antara satu pasien dengan pasien lainnya. Analogi sederhana ini kiranya dapat diterapkan dalam ranah ifta’, seorang mustafti yang hadir ke hadapan para mufti tentunya memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Satu permasalahan saja terkadang bisa melahirkan lebih dari satu fatwa, dikarenakan berbedanya keadaan yang dialami oleh mustafti.
Tahapan-tahapan yang dibicarakan di atas tentunya tidak “se-iya” dibacanya. Seorang Imam Mazhab, Ibn Muthallibi, Nashirus Sunnah, Muhammad bin Idris atau yang kerap dikenal Imam Syafii saja walaupun sudah mendapatkan lisensi dari gurunya untuk berfatwa pada umur 13 tahun masih belum menggunakan wewenangnya. Ia malah merantau jauh ke Madinah menemui gurunya, Imam Malik untuk mengaji kitab Muwatho. Setelah kenyang dengan ilmu Imam Malik, beliau tidak lantas puas dan memulai untuk menjadi seorang mufti atau kadi. Imam Syafi’i melanjutkan pengembaraan ilmiahnya ke negeri Irak, di sana ia menemui Muhammad bin Hasan Asy Syaibani murid langsung dari Abu Hanifah. Di Umurnya yang ketika itu sudah menginjak 50 tahun ia masih memiliki hasrat menginjakan kaki di tanah Mesir, untuk menemui salah satu dari murid Imam Laits, akan tetapi sayang seribu sayang tidak ada satupun murid dari Imam Laits dapat ditemuinya. Malah di Mesir lah Imam Asy Syafii menuntaskan pemikiran-pemikiran dalam kitab Al Umm, atau yang kerap disebut dengan Mazhab Jadid yang hadir untuk merevisi pemikirannya dalam Mazhab Qadim.
Dari sini saya malah menyimpulkan bahwa menjadi seorang mufti hakiki ternyata lebih besar tantangannya daripada untuk menjadi “sekedar” dokter. Imam Syafii sendiri belum mulai untuk mengajarkan ilmunya kecuali sudah memasuki umur 40 tahun. Terbayang, beliau perlu menghabiskan modul, training, dan kemampuan untuk mendeteksi penyakit pada umat hingga berpuluh-puluh tahun sebelum ia mengajarkan ilmunya. Keseluruhannya baru tuntas bahkan ketika ia sampai di negeri Mesir, atau pada umurnya yang ke 50. Tidak heran kini mazhabnya menjadi salah satu dari empat mazhab fikih yang eksis di antara umat muslim dunia. Sementara dokter kiranya untuk menjadi seorang guru besar dalam suatu bidang, tidak sampai puluhan tahun seorang dokter menekuninya. Bahkan ia sudah mulai dapat membuka klinik dokter umum pada saat ia tamat masa studi kedokteran dan praktek sebagai dokter muda (koas). Dan itu bisa dilakukan dalam kurun waktu kurang dari enam sampai delapan tahun.
Saya ingin sekilas kembali melirik judul yang ditulis, kiranya apa yang dicari para pembaca sedari awal sudah ada pencerahan. Terkait poin-poin kesamaan antara seorang dokter dan seorang mufti tentunya hanya sekedar analogi dan pendekatan yang semoga dengannya dapat memberikan jalan mudah bagi pembaca. Kedua profesi ini tentunya memiliki ladang dan spesialisasi masing-masing, dan tentunya tak bisa untuk diganggu-gugat karena dari lapangan dan lainnya sudah berbeda. Hanya saja perbedaan akan sedikit jelas terlihat dari tujuan-tujuan dari seorang mufti. Secara umum seorang mufti diamanahi oleh syariat untuk membantu dan mengayomi umat dalam permasalah agamanya, seorang mufti juga harus memastikan fatwanya tidak bertolak belakang dengan keamanan lingkungan agar tidak menjadi fitnah bagi masyarakat, yang terakhir seorang mufti berkewajiban untuk membenarkan kesalahan-kesalahan yang kerap terjadi dalam masalah ibadah dan muamalah.
*Mahasiswa Al-Azhar Tingkat 3 Jurusan Fakultas Dirasat Islamiyah, Pemimpin Redaksi Informatika ICMI Kairo 2017-2018.